
KEJAHATAN
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Permasalahan
Sosial
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Sugiyo, M.Si.
Oleh
1. Adi
Kurniawan 1301411000
2. Diah
Wahyu M. 1301411058
3. Hari
Nugroho 1301411000
4. Intan
Wulansari 1301411000
5. Atik 1301411000
JURUSAN BIMBINGAN
DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kriminalitas atau kejahatan itu
bukan merupakan peristiwa herediter ( bawaan sejak lahir, warisan); juga bukan
merupakan warisan biologis. Tiingkah laku criminal itu bisa dilakukan oleh
siapapun juga, baik wanita maupun pria, dapat berlangsung pada usia anak,
dewasa, ataupun lanjut umur. Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar,
yaitu dipikirkan, direncanakan, dan diarahkan pada satu maksud tertentu secara
sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar, misalnya
didiorong oleh impuls-impuls yang hebat, didera oleh dorongan paksaan yang
sangat kuat (kompulsi-kompulsi), dan oleh obsesi-obsesi. Kejahatan bisa juga
dilakukan secara tidak sadar sama sekali, misalnya karena terpaksa untuk
mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan terpaksa membalas
menyerang, sehingga terjadi peristiwa pembunuhan. Masyarakat modern yang sangat
kompleks itu menumbuhkan aspirasi-aspirasi materiil tinggi dan sering disertai
oleh ambisi sosial yang tidak sehat. Dambaan pemenuhan kebutuhan materiil yang
melimpah-limpah tanpa mempunyai kemampuan untuk mencapainya dengan jalan wajar,
mendorong individu untuk melakukan tindak criminal. Dengan kata lain bisa
dinyatakan: jika terdapat diskrepansi (ketidaksesuaian, pertentangan) antara
ambisi-ambisi dengan kemampuan pribadi, maka peristiwa demikian ini mendorong
orang untuk melakukan tindak criminal. Kejahatan atau kriminologi adalah tingkah laku yang
melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial sehingga masyarakat
menentangnya. Pembahasan mengenai kejahatan ini perlu kiranya dilakukan secara
lebih mendalam, sehingga berdasarkan penjelasan di atas dapat diungkap secara
lebih mendalam lagi mengenai kejahatan, baik dari sisi pengertiannya,
penyebabnya, cara mengatasinya, dll. Oleh sebab itulah kenapa makalah ini perlu
disusun.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang bisa dibuat adalah:
1.
Bagaimanakah konsep dasar dari kejahatan
itu sendiri?
2.
bagaimanakah bentuk-bentuk perilaku
kejahatan?
3.
Adakah teori-teori yang relevan dengan
definisi kejahatan?
4.
Apakah fungsi dan disfungsi dari kejahatan?
5.
Apa kaitan antara kejahatan, polisi, dan
penegak hukum?
6.
Apa kaitan antara kejahatan dan
pemenjaraan?
7.
Apakah penjahat marginal merupakan
bentuk budaya kejahatan?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui konsep dasar kejahatan.
2.
Mengetahui bentuk-bentuk perilaku
kejahatan.
3.
Mengetahui adakah teori-teori yang
relevan dengan definisi kejahatan.
4.
Mengetahui fungsi dan disfungsi dari
kejahatan.
5.
Mengetahui kaitan antara kejahatan,
polisi, dan penegak hukum.
6.
Mengetahui kaitan antara kejahatan dan
pemenjaraan.
7.
Mengetahui apakah penjahat marginal
merupakan bentuk budaya kejahatan.
1.4 Manfaat
1.
Manfaat teoritis
Pembahasan
mengenai kejahatan secara lebih luas akan memperkaya khasanah teori tentang
kejahatan dan mengembangkan ilmu kriminologi.
2.
Manfaat Praktis
Menambah
pengetahuan pembaca mengenai kejahatan secara lebih luas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Kejahatan
Secara
yuridis formal, kejahatan adalah
bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, a-sosial
sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang pidana. Di dalam perumusan
pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jelas tercantum: kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang
memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan KUHP. Ringkasnya, secara yuridis
formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang
pidana. Selanjutnya, semua tingkah laku yang dilarang oleh undang-undang harus
dijauhi.
Secara
sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku
yang secara ekonomis, politis, dan sosial psikologis sangat merugikan
masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga
masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang, maupun yang belum
tercantum dalam undang-undang pidana).
2.2
Bentuk-Bentuk Perilaku Kejahatan
Menurut
KUHP, penjelmaan atau bentuk dan jenis kejahatan itu dapat dibagi-bagikan dalam
beberapa kelompok, yaitu:
a) Rampok
dan gangsterisme, yang sering melakukan operasi-operasinya bersama-sama dengan
organisasi-organisasi legal.
b) Penipuan-penipuan
c) Pencurian
dan pelanggaran
Kemudian,
menurut cara kejahatan dilakukan bisa dikelompokkan dalam:
1. Menggunakan
alat-alat bantu: senjata, senapan, bahan-bahan kimia dan racun, instrument
kedokteran, alat pemukul, alat jerat, dan lain-lain.
2. Tanpa
menggunakan alat bantu, hanya dengan kekuatan fisik belaka, bujuk rayu, dan
tipu daya.
3. Residivis,
yaitu penjahat yang berulang-ulang ke luar masuk penjara.
4. Penjahat-penjahat
berdarah dingin, yang melakukan tindak kejahatan dengan
pertimbangan-pertimbangan dan persiapan yang matang.
5. Penjahat
kesempatan atau situasional.
6. Penjahat
karena dorongan impuls-impuls yang timbul seketika.
7. Penjahat
kebetulan, misalnya karena lupa diri, tidak disengaja,lalai, ceroboh, acuh tak
acuh, sembrono, dll.
Sarjana
Capelli membagi tipe penjahat sebagai berikut;
a) Penjahat
yang melakukan kejahatan didorong oleh faktor psikopatologis, dengan
pelaku-pelakunya:
1. Orang
yang sakit jiwa
2. Berjiwa
abnormal, namun tidak sakit jiwa
b) Penjahat
yang melakukan tindak pidana oleh cacad badani rohani, dan kemunduran jiwa raganya:
1. Orang-orang
dengan gangguan jasmani-rohani sejak lahir dan pada usia muda, sehingga sukar
dididik, dan tidak mampu menyesuaikan diri terhadap pola hidup masyarakat umum.
2. Orang-orang
dengan gangguan badani-rohani pada usia lanjut (dementia senilitas), cacad/invalid
oleh suatu kecelakaan, dll.
c) Penjahat
karena faktor-faktor sosial, yaitu:
1. Penjahat
kebiasaan
2. Penjahat
kesempatan oleh kesulitan ekonomi atau kesulitan fisik.
3. Penjahat
kebetulan.
4. Penjahat-penjahat
berkelompok.
Seelig
membagi tipe penjahat atas dasar struktur kepribadian pelaku,atau atas dasar
konstitusi jiwani/psikis pelakunya, yaitu:
1. Penjahat
yang didorong oleh sentiment-sentimen yang sangat kuat dan pikiran yang naïf
primitive. Misalnya membunuh anak isteri karena membayangkan mereka akan sengsara
di duniayang kotor ini, sehingga lebih baik mereka mati.
2. Penjahat
yang melakukan tindak pidana didorong oleh satu ideology dan keyakinan kuat,
baik yang fanatic kanan (golongan agama), maupun yang fanatic kiri (golongan
sosialis dan komunis. Misalnya gerakan “jihad”.
Menurut
objek hukum yang diserangnya, kejahatan dapat dibagi dalam:
1. Kejahatan
ekonomi
2. Kejahatan
politik dan pertahanan-keamanan
3. Kejahatan
kesusilaan
4. Kejahatan
terhadap jiwa orang dan harta benda
Pembagian
kejahatan menurut tipe penjahat, yang dilakukan oleh Cecaro Lombroso, ialah
sebagai berikut:
1. Penjahat
sejak lahir dengan sifat-sifat herediter (born criminals) dengan
kelainan-kelainan bnetuk-bentuk jasmani, bagian-bagian badan yang abnormal,
stigmata atau noda fisik, anomaly/cacad dan kekurangan jasmaniah.
2. Penjahat
dengan kelainan jiwa, misalnya: gila, setengah gila, idiot, debil, imbesil,
dihinggapi hysteria, dll.
3. Penjahat
dirangsang oleh dorongan libido seksualitas atau nafsu-nafsu seks.
4. Penjahat
karena kesempatan.
5. Penjahat
dengan organ-organ jasmani yang normal, namun mempunyai pola kebiasaan buruk.
Aschaffenburg
membagi tipe penjahat sebagai berikut:
1. Penjahat
profesional
2. Penjahat
oleh kebiasaan
3. Penjahat
tanpa/ kurang memiliki disiplin kemasyarakatan.
4. Penjahat-penjahat
yang mengalami krisis jiwa
5. Penjahat
yang melakukan kejahatan oleh dorongan-dorongan seks yang abnormal.
6. Penjahat
yang sangat agresif dan memiliki mental sangat labil, yang sering melakukan
penyerangan, penganiayaan, dan pembunuhan.
7. Penjahat
karena kelemahan batin dan dikejar-kejar oleh nafsu materiil yang
berlebih-lebihan.
8. Penjahat
dengan indolensi psikis dan segan bekerja keras.
9. Penjahat
campuran (kombinasi dari motof-motif 1 sampai 8)
2.3
Teori-Teori Mengenai Kejahatan
1. Teori
Teologis
Menyatakan kejahatan atau
kriminalitas merupakan perbuatan dosa yang jahat sifatnya. Setiap orang normal
bisa melakukan kejahatan sebab didorong oleh roh-roh jahat dan godaan setan
atau ibis atau nafsu-nafsu durjana, angkara, dan melanggar kehendak Tuhan.
2. Teori
filsafat tentang manusia (antropolodi transcendental)
Jasmani manusia itu merupakan
prinsip ketidakselesaian atau perubahan, dan sifatnya tidak sempurna. Prinsip
ketidakselesaian ini mengarahkan manusia pada destruksi, kerusakan, kemusnahan,
dan kejahatan (hal-hal yang tidak susila). Jadi oleh sifat-sifat jasmaniahnya
itu, manusia mempunyai kecenderungan-kecenderungan mengarah pada kebinasaan,
kejahatan dan destruksi diri, apabila kecenderungan tersebut tidak dapat
dikendalikan oleh JIV/jiwa.
3. Teori
keamanan bebas
Menyatakan bahwa manusia itu bisa
bebas berbuat menurut kemauannya. Teori kemauan bebas tidak menyebutkan roh-roh
jahat sebab-musabab kejahatan, akan tetapi sebab kejahatan adalah kemauan
manusia itu sendiri, jika dia dengan sadar benar berkeinginan melakukan
perbuatan durjana, maka tidak ada seorangpun, tidak satu Dewa pun, bahkan tidak
juga Tuhan dan sebuah Kitab Suci pun yang bisa melarang perbuatan kriminalnya.
4. Teori
penyakit jiwa
Menyebutkan adanya
kelainan-kelainan yang bersifat psikis sehingga individu yang berkelainan ini
sering melakukan kejahatan-kejahatan. Penyakit jiwa tersebut berupa: psikopat dan defect moral.
5. Teori
fa’al tubuh
Teori ini menyebutkan sumber
kejahatan adalah: cirri-ciri jasmaniah dan bentuk jasmaninya. Yaitu pada bentuk
tengkorak, wajah, dahi, hidung, mata, rahang, telinga, leher, lengan, tangan,
jari-jari, kaki, dan anggota badan lainnya. semua cirri fisik itu
mengkonstituir kepribadian seseorang dengan kecenderungan-kecenderungan
criminal.
6. Teori
yang menitikberatkan pengaruh antropologis
Teori ini menyatakan adanya
cirri-ciri individual yang karakteristik dan cirri anatomis yang khas
menyimpang. Dalam kelompok ini dimasukkan teori atavisme. Sarjana Ferrero
berpendapat, bahwa teori atavisme itu memang mempunyai segi-segi kebenarannya,
yaitu: orang-orang criminal itu mempunyai cirri-ciri psikis yang sama dengan
orang-orang primitive, daam hal: kemalasan, impulsivitas, cepat naik darah, dan
kegelisahan psiko-fisik. Semua sifat karakteristik ini menghambat mereka untuk
mengadakan penyesuaian diri terhadap peraturan-peraturan peradaban dan
uniformitas kesusilaan.
7. Teori
yang menitikberatkan faktor sosial, dari sekolah sosiologis Perancis
Mazhab ini dengan tegas menyatakan
bahwa pengaruh paling menentukan yang mengakibatkan kejahatan adalah:
faktor-faktor eksternal atau lingkungan sosial dan kekuatan-kekuatan sosial.
8. Mazhab
bio-sosiologis
Teori ini menyatakan bahwa
kejahatan itu tidak hanya disebabkan oleh konstitusi biologis yang ada pada
diri individu saja, akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor atau
pengaruh-pengaruh eksternal. Timbulnya kejahatan itu disebabkan oleh kombinasi
dari kondisi individu (kondisi psiko-fisik) dan kondisi sosial.
9. Teori
susunan ketatanegaraan
Beberapa filsuf dan negarawan,
yaitu Plato, Aristoteles, dan Thomas More dari Inggris beranggapan bahwa
struktur kenegaraan dan falsafah Negara itu turut menentukan ada dan tidaknya
kejahatan. Bila susunan Negara baik dan pemerintahannya bersih, serta mampu
melaksanakan tugas memerintah rakyat dengan adil, maka kejahatan tidak akan
bisa berkembang. Sebaliknya, jika pemerintahan korup dan tidak adil, maka
banyak orang memenuhi kebutuhan vtalnya dengan cara masing-masing yang
inkonvensional dan jahat atau criminal.
10. Mazhab
spiritualis dengan teori non-religiusitas (tidak beragamanya individu)
Teori ini menyatakan bahwa
ketidakpercayaan kepada Tuhan yang Maha Kuasa itu menimbulkan banyak ketakutan,
kecemasan, dan kebingungan. Dan sebagai akibatnya, sering timbul agresivitas
dan sifat a-sosial, yang mudah menjerumuskan manusia kepada kejahatan-kejahatan.
Orang-orang yang atheistis sering dibayang-bayangi oleh pikiran-pikiran yang
kacau-balau dan ide-ide kegila-gilaan. Terjadilah kemungkinan disorganisasi dan
disintegrasi kepribadian, tanpa memiliki rasa sosial, dan rasa kemanusiaan yang
wajar. Dan pengkondisian semacam ini mendekatkan dirinya pada
erbuatan-perbuatan yang jahat.
2.4
Fungsi dan Disfungsi Kejahatan
Disfungsi
sosial dari kejahatan, yaitu:
1.
kejahatan yang bertubi-tubi itu
memberikan efek yang mendemoralisir/merusak terhadap orde sosial
2.
menimbulkan rasa tidak aman, kecemasan,
ketakutan, dan kepanikan di tengah masyarakat.
3.
Banyak materi dan energy terbuang dengan
sia-sia oleh gangguan-gangguan kriminalitas.
4.
Menambah beban ekonomis yang semakin
besar kepada sebagian besar warga masyarakatnya.
Namun,
di samping pengaruhnya yang merusak itu, ada juga fungsi sosial dari kejahatan,
yang memberikan efek positif. Yaitu memperjelas “tujuan-tujuan sosial” yang
bermanfaat dan diungkapkan dalam bentuk aktivitas sebagai berikut:
1.
menumbuhkan rasa solidaritas dalam
kelompok-kelompok yang tengah diteror oleh penjahat.
2.
Muncullah kemudian tanda-tanda baru,
dengan norma-norma susila yang lebih baik, yang diharapkan mampu mengatur
masyarakat dengan cara yang lebih baik di masa-masa mendatang.
3.
Orang berusaha memperbesar kekuatan
hukum, dan menambah kekuatan fisik lainnya untuk memberantas kejahatan.
2.5
Kejahatan, Polisi, dan Penegak Hukum
Kejahatan-kejahatan
berupa perampokan, pencurian, pemerkosaan, dan pembunuhan itu sifatnya
mencolok. Sedang korupsi, penggelapan, penipuan (con games), pemalsuan,
perjudian, manipulasi dagang, semua bersifat invisible atau tidak kelihatan.
Pengejaran tindak criminal dilakukan oleh polisi. Namun tragisnya, kekuatan
angkatan kepolisian biasanya berkembang jauh di belakang pertumbuhan kekuatan
criminal. Bila teknik dan metode-metode criminal pesat tumbuh sejajar dengan
kemajuan teknologi modern, maka biasanya keterampilan anggota-anggota angkatan
kepolisian dan sarana-sarana pendeteksi (untuk menemukan) kejahatan lamban
sekali perkembangannya. Jika pemerintahan lemah, dan banyak terdapat korupsi
politik, maka biasanya lembaga-lembaga penegak hukumnya juga berfungsi sangat
buruk.
2.6
Kejahatan dan Pemenjaraan
Penjara
diadakan untuk memberikan jaminan keamanan kepada rakyat banyak agar aman dari
gangguan kejahatan. Jadi, pengadaan lembaga kepenjaraan merupakan respon
dinamis dari rakyat untuk menjamin keselamatan diri. Dengan begitu, rumah
penjara merupakan tempat penyimpanan penjahat-penjahat “ulung” agar rakyat
tidak terganggu, dan ada tindakna-tindakan preventif agar para penjahat tidak
merajalela.
Pemenjaraan
selama jangka waktu yang pendek, pada umumnya mengakibatkan peristiwa-peristiwa
sebagai berikut pada narapidana:
1. dari
penjahat kecil-kecilan mereka bisa menjadi penjahat yang lebih lihai dengan
keterampilan tinggi dan perilaku yang lebih kejam.
2. Sering
timbul konflik-konflik batin yang serius, terutama sekali kepada narapidana
yang baru pertama kali masuk penjara.
3. Penjahat-penjahat
individual dan penjahat situasional banyak sekali yang mengalami patah mental,
disebabkan oleh isolasi sosial dalam penjara.
Sedangkan
isolasi yang lama karena disekap dalam penjara mengakibatkan efek-efek sebagai
berikut:
1. tidak
ada partisipasi sosial. Masyarakat narapidana dianggap sebagai masyarakat yang
terkucilkan, masyarakat asing penuh stigma-stigma atau noda-noda sosial yang
wajib dijauhi.
2. Para
narapidana didera oleh tekanan batin yang semakin memberat dengan bertambahnya
waktu pemenjaraan. Kemudian muncul kecenderungan-kecenderungan autistic
(menutup diri secara total) dan usaha melarikan diri dari realitas yang
traumatic sifatnya.
3. Praktek-praktek
homoseksual berkembang.
4. Para
narapidana mengembangkan rekasi-reaksi yang stereotypis, yaitu: cepat curiga,
lekas marah, cepat membenci, dan mendendam.
5. Mendapat
stempel “tidak bisa dipercaya” dan “tidak bisa diberi tanggungjawab”. Sehingga
apabila mereka telah keluar dari penjara, maka sulit sekali bagi mereka untuk
mendapatkan pekerjaan.
2.7
Penjahat Marginal
Pada
umumnya, umur 35 tahun merupakan terminus titik akhir dari kriminalitas. Pada
usia ini berlangsung banyak krisis batin. Yaitu ada dorongan kuat untuk
mengehentikan perbuatan-perbuatan jahatnya, disebabkan oleh usia tua dan
semakin lelahnya badan. Namun, jika profesi kriminalnya dihentikan, dia merasa
sangat cemas, karena tidak mempunyai tabungan dan tidak punya penghasilan
tetap, sebab tidak mempunyai keterampilan khusus. Sebaliknya, jika pekerjaan
jahat itu diteruskan, ia merasa sangat ragu-ragu dan mencemaskan serentetan
kegagalan yang akan dihadapinya. Sebab dirinya sudah menjadi semakin tua dan
rapuh lemah.
Mau
mundur meninggalkan pola criminal, dia merasa sayang benar, sedang mau maju
meneruskan “profesi” lama, dia merasa tidak memiliki keberanian lagi.
Individu-individu yang demikian inilah yang disebut sebagai penjahat-penjahat marginal. Pada umumnya
mereka mengalami banyak konflik batin yang serius dan gangguan mental.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar