Senin, 12 Mei 2014

Letter from Ayu



Dear my lovely friend, Uzwatun Khasanah (Suri tauladan yang baik)…… <3
Ini tulisan yang aku janjikan buat kamu, dikutip dari buku Salim A. Fillah “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim” halaman 222.

Dalam sebuah seminar muslimah di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir UII, saya diberi kehormatan mendampingi Ustadzah Herlini Amran, MA. Dalam kesempatan itu beliau memberikan paparan tentang persiapan pernikahan. Beliau menyampaikan tujuh item, yang saya rasa bisa dirangkum menjadi lima hal saja. Nah persiapan pernikahan adalah:
1.    Persiapan Ruhiyah (Spiritual)
Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggungjawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumah tangga.
2.    Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)
Bersiaplah menata rumah tangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orang tua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.
3.    Persiapan Jasadiyah (Fisik)
Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada wanita misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi laki-laki. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.
4.    Persiapan Maaliyah (Material)
Kalau ini, tuntutannya adalah berpenghasilan, bukan bekerja. Minimal ada komitmen ke arah itu dan mampu memberi mahar. Lalu disempurnakan dengan kecerdasan finansial, menangkap peluang, mengelola sumberdaya, dan menata anggaran.
5.    Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial)
Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi misi da’wah di lingkungannya.
Nah ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap harus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah?
Ya. Memang harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan.
wahai sekalian pemuda, barangsiapa dari kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan Farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.(HR Bukhari dan Muslim)

Hanya ada satu paameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalah penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan, yakni kemampuan jima’.
Maka kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali. Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’I, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qardhawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu.
Nah. Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut mrnikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah Anda masih perlu sebuah jaminan lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya:

ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi. An Nasa’I, dan Ibnu Majah)

Di milis yang saya sebut di atas, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan Ustadz Abu Hasna lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan ma’shiat.
Kata Umar Ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan InsyaAllah jantan. Cuma, banyak ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi rizqi. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih.
Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menfkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang bertanggungjawab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada istri yang halal dinikmati (ups!) Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini,

maka aku katakan kepada mereka: “ beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. “ (Nuh 10-12)

Pernah membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur, syar’I, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita.

mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 I'm a Counselor and Powered by Blogger.