Dear my
lovely friend, Uzwatun Khasanah (Suri tauladan yang baik)…… <3
Ini tulisan
yang aku janjikan buat kamu, dikutip dari buku Salim A. Fillah “Saksikan bahwa
Aku Seorang Muslim” halaman 222.
Dalam sebuah
seminar muslimah di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir UII, saya diberi
kehormatan mendampingi Ustadzah Herlini Amran, MA. Dalam kesempatan itu beliau
memberikan paparan tentang persiapan pernikahan. Beliau menyampaikan tujuh
item, yang saya rasa bisa dirangkum menjadi lima hal saja. Nah persiapan pernikahan
adalah:
1.
Persiapan
Ruhiyah (Spiritual)
Ini meliputi kesiapan kita untuk
mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggungjawab, sedia berbagi, meluntur
ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal
dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan
menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih
dalam rumah tangga.
2.
Persiapan
‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)
Bersiaplah menata rumah tangga dengan
pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang
berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orang tua
yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang
lain.
3.
Persiapan
Jasadiyah (Fisik)
Jika memiliki penyakit-penyakit,
apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan
penyembuhannya. Keputihan pada wanita misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi
laki-laki. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok
bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan
kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan
teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada
bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat
misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.
4.
Persiapan
Maaliyah (Material)
Kalau ini, tuntutannya adalah
berpenghasilan, bukan bekerja. Minimal ada komitmen ke arah itu dan mampu
memberi mahar. Lalu disempurnakan dengan kecerdasan finansial, menangkap
peluang, mengelola sumberdaya, dan menata anggaran.
5.
Persiapan
Ijtima’iyyah (Sosial)
Artinya, siap untuk bermasyarakat,
faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran
di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi misi da’wah di
lingkungannya.
Nah ini semua
adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak
berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum
menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan
hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu.
Setelah menikah pun, kita tetap harus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai
persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah?
Ya. Memang
harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu
parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan.
“
wahai sekalian pemuda, barangsiapa dari
kalian telah bermampu BA’AH, maka
hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan
menjaga kehormatan Farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa,
sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Hanya
ada satu paameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama
berbeda pendapat tapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah
kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam
Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah,
mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalah penyediaan tempat tinggal.
Tetapi, makna utamalah yang ditekankan, yakni kemampuan jima’.
Maka
kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda.
Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali. Sehingga, kata
Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’I, Ahmad, tidak ada
kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan
tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qardhawi menikah di usia
belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah
riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah
masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu.
Nah.
Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah
dituntut mrnikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen.
Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya
ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah
adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang
lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah Anda masih perlu sebuah jaminan
lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya:
“ ada
tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. pertama, budak mukatab
yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi
menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.”
(HR At Tirmidzi. An Nasa’I, dan Ibnu
Majah)
Di
milis yang saya sebut di atas, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang
pernah disampaikan Ustadz Abu Hasna lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu?
Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah
rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi
pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi ia
bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan ma’shiat.
Kata
Umar Ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak
berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak
ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan InsyaAllah
jantan. Cuma, banyak ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi rizqi. Belum lagi
gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi,
pilih-pilih.
Tapi
begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menfkahi. Bagi yang
berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada
kenekatan yang bertanggungjawab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi
sudah ada istri yang halal dinikmati (ups!) Apalagi, kalau memperbanyak
istighfar. Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini,
“maka
aku katakan kepada mereka: “ beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia
adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan
lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu
kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. “ (Nuh 10-12)
Pernah
membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah
beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah saya sudah
menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah
kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri.
Ingat kata kuncinya; jujur, syar’I,
mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika
masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan
ditelunjukkan ke arah wajah kita.
“
mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran
Allah?” (Nuh 13)
0 komentar:
Posting Komentar