UNTUKMU
YANG MENGAKU SEBAGAI CALON KONSELOR
(tak ada yang tahu
apa yang terjadi di balik senyum ceria mereka kecuali mereka-mereka yang mau
tahu dan mau peduli)
Aku tidak tahu harus
memulai tulisan ini darimana,
Ini hanyalah
ungkapan rasa dan pikiran setelah aku baru-baru ini magang di Balai
Rehabilitasi Eks Penyalahguna NAPZA “Mandiri” Semarang II
Tulisan ini aku
buat agar aku tak melupakan rasa dari setiap moment yang aku alami, agar
selamanya berkesan di dalam hidupku dan mengingatkanku kembali akan rasa ini
ketika aku lupa nanti..
Berada di Balai
Rehab ini + 45 hari mengajarkanku
banyak hal dan menyadarkanku akan sesuatu, yang terpenting adalah ini “I’m a
counselor and always like that forever”. Mencari sosok orang yang memiliki
kepedulian terhadap sesamanya ternyata tidak mudah. Mencari orang yang mau
mendengarkan juga tidak mudah. Tak banyak orang yang mau berbuat seperti itu
dengan setulus hatinya. Dan tak banyak orang yang menyadari bahwa sesuatu yang
dilakukan dengan hati pasti akan sampai ke hati juga. Tak peduli seberapa keras
hati orang yang kita tuju.
Penerima manfaat di
balai rehab ini adalah anak-anak terluka. Korban dari orang tua yang hanya
mampu menghadirkan mereka ke dunia ini tanpa menuntunnya untuk bisa melalui
kehidupan ini dengan baik. Lahir. Selesai. Kehidupanmu silahkan jalani saja
sendiri. Mungkin bisa diibaratkan begitu.
Satu hal yang
paling membuatku terharu dan mengetuk ruang terdalam hatiku untuk selalu peduli
dan berbuat lebih untuk mereka-mereka yang terluka dengan kehidupan ini adalah
ketika proses konseling dengan salah satu penerima manfaat. Ia mengatakan bahwa
balai rehab ini adalah tempat baginya untuk berlindung dari kejamnya kehidupan
di luar sana. Ia datang ke balai rehab dengan keinginannya sendiri berdasarkan
rekomendasi dari temannya. Ia, seorang anak berumur 15 tahun yang sudah melalui
kerasnya kehidupan memasuki lingkaran setan semenjak kelas 2 SD. Berkenalan
dengan minuman keras dari temannya di kelas 2 SD. Selanjutnya menikmati miras
dan rokok bersama sang ayah.
Ayah. Yang
seharusnya jadi sosok panutan, ternyata menjadi sosok penghancur kehidupan.
Tidak cukup dengan merusak moral anak, ia pun selingkuh meninggalkan anak dan
istri. Bahkan tak pernah sekalipun menafkahi keluarga. Kehidupan anak ini
menjadi terluka, dengan tidak adanya kasih sayang, pencukupan kebutuhan, dan
siksaan batin yang dialami anak ini karena setiap hari melihat sang ibu
dipukuli dan ia pun kerap kali dipukuli sang ayah.
Dia. Yang tak tahu
kemana harus mengadu dan kemana harus bergantung, karena tak sedikipun ia
mengenal Tuhan. Lari dari rumah, menuju tempat dimana dia bisa diterima dengan
membawa hati yang gersang dan luka. Tak ada tempat baginya untuk menangis dan
mengadu. Bertemu dengan orang-orang bernasib sama. Di kelas VII SMP mulai mencuri
demi memenuhi kebutuhan yang tak terpenuhi oleh ibu dan ayahnya termasuk
kebutuhan makan. Mencuri uang dan terlilit hutang. Selanjutnya berkenalan
dengan dunia kriminal, berkelahi, mencuri, menggunakan senjata tajam untuk
berkelahi. Dan pada akhirnya terjerumus pada narkoba dan seks bebas.
Sekali lagi tak ada
tempat baginya mengadu. Tak ada tempat dimana jeritan hatinya bisa terdengar.
Tak ada tempat baginya mendengar petuah kebaikan. Kehidupan macam apa yang ia
jalani. Lingkaran setan yang tak ada ujung. Ia terlibat dengan kepolisian,
ditahan selama 2 minggu di kepolisian. Tak ada tempat baginya kembali.
Masyarakat sekitar lingkungannya tak memberinya ruang untuk tinggal. Kecaman,
ancaman, sindiran, cibiran adalah makanannya sehari-hari.
Keluarga? Tak
banyak membantu. Hanya sang adik tempatnya berkasih sayang. Namun sayang, Tuhan
bekehendak lain. Sang adik kembali ke haribaan Tuhan lebih dulu. Hilang sudah
sumber kasih sayangnya. Hingga akhirnya ia datang ke balai rehab untuk
berlindung dan mengubah kehidupan.
Di balai rehab ia
merasa menemukan orang yang memberinya
kasih sayang. Ia menemukan orang yang mau peduli padanya. Mau membimbingnya
menjadi lebih baik.
Deg. Pada titik ini
aku tersadar. Aku seorang konselor. Seperti itulah aku seharusnya. Menaruh
kepedulian terhadap anak-anak terluka ini. Dengan tulus. Dengan tulus. Sekali
lagi dengan tulus dan SEPENUH HATI. Aku bertanya-tanya dan berpikir, beginikah
Tuhan mengatur kehidupan? Ia gariskan nasib sedemikian rupa kepada anak itu
agar kami yang bertekad menjadi konselor benar-benar belajar untuk berbagi dan
peduli. Tak layak menyebut diri ini sebagai calon konselor jika menutup mata
dan tak mau tahu dengan keadaan anak ini. Tuhan menciptakan segala sesuatu
untuk saling melengkapi satu sama lain.
Apakah jalannya
mudah? TIDAK. Aku bisa katakan tidak. Kepedulian dan kelayakan untuk disebut
calon konselor tak mudah. Dan yang namanya UNCONDITONAL POSITIVE REGARD
benar-benar diuji. Aku belajar dari 3 orang adik-adik asuhku. Hari ini mereka
baik, besok bermasalah, besoknya lagi baik, besoknya lagi bermasalah. Kecewa?
Jelas. Muncul rasa tak peduli? Jelas. Merasa apa yang kita lakukan tak berguna?
Tak berhasil? Jelas. Merasa hatimu dibolak balik? Iya. Namun tekadku untuk
menjadi seorang konselor menyadarkanku kembali bahwa disinilah prosesnya. Tak
seperti di sekolah yang anak-anaknya cukup mudah dibimbing. Anak-anak ini
berbeda. Tapi inilah mereka yang disebut bermasalah dan diperlukan intervensi
ke arah kebaikan. Bingung? Jelas. Aku merasa ilmu ku sangat lah kurang. Namun
aku sadar bahwa anak-anak yang terluka ini memiliki kesamaan. TAK ADA TEMPAT
UNTUK MEREKA BERBAGI DAN DIDENGAR. See? Bukankah tempat berbagi dan mendengar
itu adalah seorang konselor? Yang memiliki KDK? Yang memiliki unconditional
positive regard? Lalu bagaimana kita seharusnya memposisikan diri? Dan kenapa
kita menjadi begitu cepat menyerah? Merasa bahwa masalah kita juga banyak, dan
hanya membuang-buang waktu jika peduli terhadap mereka?
Konselor. Profesi
yang dalam perkuliahan menjadi bahan perdebatan dengan segala problematikanya.
Disinilah tempat belajar yang sesungguhnya. Menghadapi klien yang sesungguhnya.
Ada di depan mata. Hanya hal kecil sebenarnya. Namun efeknya luar biasa. Peduli
dan mau tahu. Merasa bahwa mereka adalah bagian dari kita. Lalu kenapa kita tak
menyempatkan diri untuk peduli? Bukankah Khoirunnas anfauhum linnas? Sebaik-baik
manusia adalah yang bermanfaat untuk sesamanya? Bukankah Allah menyukai
orang-orang yang apabila ia bekerja ia menyelesaikan pekerjaannya dengan baik?
Note: tak banyak
orang mau untuk peduli.
Catatan kecil dari
pengalaman magang bersama kawan-kawan BK UNNES 2011.
(Aida Nisviatul L.M,
Septa Nikmatil Aliya, Eva Yuni Prastiti, Tri Widyowati, Moch. Khakam As’ad,
Hari Nugroho, Kamaluddin Reza Sauqi, Ayyub Indra Syafi’I, Bobby Ardhian
Nusantara)