Kamis, 16 April 2015



UNTUKMU
YANG MENGAKU SEBAGAI CALON KONSELOR

(tak ada yang tahu apa yang terjadi di balik senyum ceria mereka kecuali mereka-mereka yang mau tahu dan mau peduli)

Aku tidak tahu harus memulai tulisan ini darimana,
Ini hanyalah ungkapan rasa dan pikiran setelah aku baru-baru ini magang di Balai Rehabilitasi Eks Penyalahguna NAPZA “Mandiri” Semarang II
Tulisan ini aku buat agar aku tak melupakan rasa dari setiap moment yang aku alami, agar selamanya berkesan di dalam hidupku dan mengingatkanku kembali akan rasa ini ketika aku lupa nanti..
Berada di Balai Rehab ini  + 45 hari mengajarkanku banyak hal dan menyadarkanku akan sesuatu, yang terpenting adalah ini “I’m a counselor and always like that forever”. Mencari sosok orang yang memiliki kepedulian terhadap sesamanya ternyata tidak mudah. Mencari orang yang mau mendengarkan juga tidak mudah. Tak banyak orang yang mau berbuat seperti itu dengan setulus hatinya. Dan tak banyak orang yang menyadari bahwa sesuatu yang dilakukan dengan hati pasti akan sampai ke hati juga. Tak peduli seberapa keras hati orang yang kita tuju.
Penerima manfaat di balai rehab ini adalah anak-anak terluka. Korban dari orang tua yang hanya mampu menghadirkan mereka ke dunia ini tanpa menuntunnya untuk bisa melalui kehidupan ini dengan baik. Lahir. Selesai. Kehidupanmu silahkan jalani saja sendiri. Mungkin bisa diibaratkan begitu.
Satu hal yang paling membuatku terharu dan mengetuk ruang terdalam hatiku untuk selalu peduli dan berbuat lebih untuk mereka-mereka yang terluka dengan kehidupan ini adalah ketika proses konseling dengan salah satu penerima manfaat. Ia mengatakan bahwa balai rehab ini adalah tempat baginya untuk berlindung dari kejamnya kehidupan di luar sana. Ia datang ke balai rehab dengan keinginannya sendiri berdasarkan rekomendasi dari temannya. Ia, seorang anak berumur 15 tahun yang sudah melalui kerasnya kehidupan memasuki lingkaran setan semenjak kelas 2 SD. Berkenalan dengan minuman keras dari temannya di kelas 2 SD. Selanjutnya menikmati miras dan rokok bersama sang ayah.
Ayah. Yang seharusnya jadi sosok panutan, ternyata menjadi sosok penghancur kehidupan. Tidak cukup dengan merusak moral anak, ia pun selingkuh meninggalkan anak dan istri. Bahkan tak pernah sekalipun menafkahi keluarga. Kehidupan anak ini menjadi terluka, dengan tidak adanya kasih sayang, pencukupan kebutuhan, dan siksaan batin yang dialami anak ini karena setiap hari melihat sang ibu dipukuli dan ia pun kerap kali dipukuli sang ayah.
Dia. Yang tak tahu kemana harus mengadu dan kemana harus bergantung, karena tak sedikipun ia mengenal Tuhan. Lari dari rumah, menuju tempat dimana dia bisa diterima dengan membawa hati yang gersang dan luka. Tak ada tempat baginya untuk menangis dan mengadu. Bertemu dengan orang-orang bernasib sama. Di kelas VII SMP mulai mencuri demi memenuhi kebutuhan yang tak terpenuhi oleh ibu dan ayahnya termasuk kebutuhan makan. Mencuri uang dan terlilit hutang. Selanjutnya berkenalan dengan dunia kriminal, berkelahi, mencuri, menggunakan senjata tajam untuk berkelahi. Dan pada akhirnya terjerumus pada narkoba dan seks bebas.
Sekali lagi tak ada tempat baginya mengadu. Tak ada tempat dimana jeritan hatinya bisa terdengar. Tak ada tempat baginya mendengar petuah kebaikan. Kehidupan macam apa yang ia jalani. Lingkaran setan yang tak ada ujung. Ia terlibat dengan kepolisian, ditahan selama 2 minggu di kepolisian. Tak ada tempat baginya kembali. Masyarakat sekitar lingkungannya tak memberinya ruang untuk tinggal. Kecaman, ancaman, sindiran, cibiran adalah makanannya sehari-hari.
Keluarga? Tak banyak membantu. Hanya sang adik tempatnya berkasih sayang. Namun sayang, Tuhan bekehendak lain. Sang adik kembali ke haribaan Tuhan lebih dulu. Hilang sudah sumber kasih sayangnya. Hingga akhirnya ia datang ke balai rehab untuk berlindung dan mengubah kehidupan.
Di balai rehab ia merasa  menemukan orang yang memberinya kasih sayang. Ia menemukan orang yang mau peduli padanya. Mau membimbingnya menjadi lebih baik.
Deg. Pada titik ini aku tersadar. Aku seorang konselor. Seperti itulah aku seharusnya. Menaruh kepedulian terhadap anak-anak terluka ini. Dengan tulus. Dengan tulus. Sekali lagi dengan tulus dan SEPENUH HATI. Aku bertanya-tanya dan berpikir, beginikah Tuhan mengatur kehidupan? Ia gariskan nasib sedemikian rupa kepada anak itu agar kami yang bertekad menjadi konselor benar-benar belajar untuk berbagi dan peduli. Tak layak menyebut diri ini sebagai calon konselor jika menutup mata dan tak mau tahu dengan keadaan anak ini. Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk saling melengkapi satu sama lain.
Apakah jalannya mudah? TIDAK. Aku bisa katakan tidak. Kepedulian dan kelayakan untuk disebut calon konselor tak mudah. Dan yang namanya UNCONDITONAL POSITIVE REGARD benar-benar diuji. Aku belajar dari 3 orang adik-adik asuhku. Hari ini mereka baik, besok bermasalah, besoknya lagi baik, besoknya lagi bermasalah. Kecewa? Jelas. Muncul rasa tak peduli? Jelas. Merasa apa yang kita lakukan tak berguna? Tak berhasil? Jelas. Merasa hatimu dibolak balik? Iya. Namun tekadku untuk menjadi seorang konselor menyadarkanku kembali bahwa disinilah prosesnya. Tak seperti di sekolah yang anak-anaknya cukup mudah dibimbing. Anak-anak ini berbeda. Tapi inilah mereka yang disebut bermasalah dan diperlukan intervensi ke arah kebaikan. Bingung? Jelas. Aku merasa ilmu ku sangat lah kurang. Namun aku sadar bahwa anak-anak yang terluka ini memiliki kesamaan. TAK ADA TEMPAT UNTUK MEREKA BERBAGI DAN DIDENGAR. See? Bukankah tempat berbagi dan mendengar itu adalah seorang konselor? Yang memiliki KDK? Yang memiliki unconditional positive regard? Lalu bagaimana kita seharusnya memposisikan diri? Dan kenapa kita menjadi begitu cepat menyerah? Merasa bahwa masalah kita juga banyak, dan hanya membuang-buang waktu jika peduli terhadap mereka?
Konselor. Profesi yang dalam perkuliahan menjadi bahan perdebatan dengan segala problematikanya. Disinilah tempat belajar yang sesungguhnya. Menghadapi klien yang sesungguhnya. Ada di depan mata. Hanya hal kecil sebenarnya. Namun efeknya luar biasa. Peduli dan mau tahu. Merasa bahwa mereka adalah bagian dari kita. Lalu kenapa kita tak menyempatkan diri untuk peduli? Bukankah Khoirunnas anfauhum linnas? Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesamanya? Bukankah Allah menyukai orang-orang yang apabila ia bekerja ia menyelesaikan pekerjaannya dengan baik?
Note: tak banyak orang mau untuk peduli.
Catatan kecil dari pengalaman magang bersama kawan-kawan BK UNNES 2011.
(Aida Nisviatul L.M, Septa Nikmatil Aliya, Eva Yuni Prastiti, Tri Widyowati, Moch. Khakam As’ad, Hari Nugroho, Kamaluddin Reza Sauqi, Ayyub Indra Syafi’I, Bobby Ardhian Nusantara)
 
Copyright (c) 2010 I'm a Counselor and Powered by Blogger.